Minggu, 06 Juli 2014

Cak Nun, Secuil Kisah Hidupnya

Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun adalah seorang seniman, budayawan, intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa timur. Ia merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Cak Nun lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Biografi Emha Ainun Nadjib Cak Nun dari Google Biografi
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.Bahkan cak Nun dan Kiai Kanjeng telah melanglang buana hingga Eropa, Amerika, Hongkong, Mesir, Jazirah Arab, dan belahan bumi lainnya.
Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.  Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat  baik, itu saja sudah berdakwah,” katanya.
Karir Menulis dan Seni kreatif
Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.
Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.
Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)
Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Pluralisme? Indonesia kok Diajari Pluralisme!
Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, “Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah…”
Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.
Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.
“Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu..... (Zamorano).

Senin, 16 Juni 2014

TANGISAN NABI SAW MENGGUNCANG ARSY



“Dikisahkan, bahwasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik berthawaf di Ka’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya berthawaf, sambil berdzikir: “Ya Karim! Ya Karim!”
Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah, dan berdzikir lagi: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikuti dzikirnya “Ya Karim! Ya Karim!” Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalnya.
Orang itu lalu berkata: “Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku,
karena aku ini adalah orang Arab badwi? Kalau lah bukan karena ketampanan dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah s.a.w.”
Mendengar kata-kata orang Arab badwi itu, Rasulullah s.a.w. tersenyum, lalu bertanya: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?” “Belum,” jawab orang itu. “Jadi bagaimana kau beriman kepadanya?”
“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,” kata orang Arab badwi itu pula.
Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah... aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat!” Melihat Nabi s.a.w di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya.
“Tuan ini Nabi Muhammad s.a.w?!” “Ya” jawab Nabi s.a.w. Dia segera tunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah s.a.w. Melihat hal itu, Rasulullah s.a.w. menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:
“Wahal orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan serupa itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannya, Ketahuilah, Allah SWT mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”
Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: “Ya Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda: “Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah SWT. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!”
Setelah menyampaikan berita itu, Jibril a.s kemudian pergi.
Maka orang Arab itu pula berkata:“Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya!” kata orang Arab badwi itu. “Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan? ” Rasulullah bertanya kepadanya.
“Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya,’ jawab orang itu. “Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunan-Nya. “Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawanannya!’
Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah s.a.w. pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu. Air mata beliau meleleh membasahi janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata:
“Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda: Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya kerana tangismu, penjaga Arsy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga Arsy bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahawa Allah tidak akan menghisab dirinya,
juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah mengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti!”
Betapa sukanya orang Arab badwi itu ketika mendengar berita tersebut. la lalu menangis karena menahan keharuan. Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

Senin, 26 Mei 2014

RIWAYAT HIDUP UMAR BIN KHATTAB


 

Umar Bin Khattab

“Ya Allah, jadikanlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab.” Salah satu dari doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam, sedangkan Amr bin Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.

Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatamah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.

Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua di dalam Islam setelah Abu Bakar. Nasabnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakeknya Ka’ab. Antara beliau dengan Rasulullah selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Khatamah binti Hasyim bin al Mughirah al Makhzumiyah. Rasulullah memberi beliau kunyah Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah anaknya yang paling tua dan memberi laqab (julukan) al Faruq.

Umar bin Khattab Masuk Islam


Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya, dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan kaum Jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam.

Ringkas cerita, pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Rasulullah. Waktu itu Rasulullah membaca surat al Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- “Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy.” Kemudian beliau mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur’an bukan syair), lantas beliau berkata, “Kalau begitu berarti dia itu dukun.” Kemudian beliau mendengar bacaan Rasulullah ayat 42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, “Telah terbetik lslam di dalam hatiku.” Akan tetapi karena kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam.

Kemudian pada suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Rasulullah. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al ‘Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lekaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, “Mau kemana wahai Umar?” Umar bin Khattab menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad.” Lelaki tadi berkata, “Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?” Maka Umar menjawab, “Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu.” Tetapi lelaki tadi menimpali, “Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesugguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini.”

Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur’an, surat Thaha kepada Khabab bin al Arat. Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang, maka Khabab bersembunyi. Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan suaminya berkata, “Kami tidak sedang membicarakan apa-apa.” Umar bin Khattab menimpali, “Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian.” Iparnya menjawab, “Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?” Mendengar ungkapan tersebut Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar bin Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya.

Umar bin Khattab berkata, “Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.” Maka adik perempuannya berkata, “Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!” Lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.

Tatkala Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, ‘Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.’ Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa.” Umar bin Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin Khattab datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya, “Ada apa kalian?” Mereka menjawab, “Umar datang!” Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, “Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya.” Kemudian Rasulullah menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya, “Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab.” Dan dalam riwayat lain, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.”

Seketika itu pula Umar bin Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullah bin Mas’ud berkomentar, “Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam.”

Kepemimpinan Umar bin Khattab


Keislaman beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Beliau adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al Qur’an dan as Sunnah setelah Abu Bakar.

Kepemimpinan Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah dan Abu Bakar. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan Islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.

Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636 M), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641 M, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639 M, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.

Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637 M, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641 M, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642 M), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644 M, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.

Selain pemberani, Umar bin Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata, “Seandainya ilmu Umar bin Khattab diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar bin Khattab lebih berat dibandingkan ilmu mereka. Mayoritas sahabat pun berpendapat bahwa Umar bin Khattab menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk mushaf, menetapkan tahun Hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan shalat sunah Tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum khamr (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya.

Namun dengan begitu beliau tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang pemimpin yang zuhud dan wara’. Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, “Pada suatu hari Umar bin Khattab memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannnya dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang.” Abdullah, puteranya berkata, “Umar bin Khattab berkata, ‘Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah’.”

Beliaulah yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang. Beliau berjanji tidak akan makan minyak Samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang memakannya.

Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar bin Khattab sering terlambat salat Jum’at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.

Kebijaksanaan dan keadilan Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah. Sehingga jauh-jauh hari Umar bin Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Allah dan Rasulullah. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair binl Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka dengan berkata, “Aku tidak mau bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau Allah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.”

Wafatnya Umar bin Khattab


Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat. Beliau ditikam ketika sedang melakukan shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah (al Fairus dari Persia), budak milik al Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Rasulullah dan Abu Bakar, beliau wafat dalam usia 63 tahun.

Diambil dari berbagai sumber.

Jumat, 02 Mei 2014

Bertengkar Berbisik




Cerpen Oleh Muhammad Kasim (Angkatan Balai Pustaka 1930)

Biasanya orang yang bertengkar tak dapat tidak akan melepaskan sekuat-kuatnya suaranya dan berkata berebut-rebut dengan tiada mempedulikan koma dan titik. Dalam cerita ini, suatu pertengkaran yang disudahi dengan perkelahian yang hebat, telah berlaku dengan berbisik saja.
Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir, yang berjalan kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar dapat berbuka puasa di kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah kampung kecil, yang masuk bahagian Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar akan bermusyawarah.
“Di kampung itu tidak ada lepau nasi, kenalan kitapun tidak ada. Di manakah kita akan menumpang? Bertanak sendiri dalam puasa begini, saya tak sanggup rasanya” kata seorang, yang bernama si Burkat.
“Itulah sebabnya maka saya katakan tadi, lebih baik kita bermalam di Sitinjak saja; di sana ada warung nasi,” jawab temannya yang bernama si Togop.
“Saya sangka tadi, jika diburu-buru berjalan, dapat juga kita bermalam di Batangtoru, rupanya tidak. Akan tetapi, menyesal dan mengeluh tak ada gunanya. Lebih baik kita cari akal, supaya kita dapat makan petang ini.” Sejurus lamanya ketiganya tiada berkata-kata.
“Aku dapat suatu akal,” berkata si Burkat sambil memadang kedua temannya berganti-ganti. Salah seorang di antara kita bertiga, kita panggilkan kepala kampung.”
”Kalau dipanggilkan kepala kampung saja saya rasa belum akan kenyang perut,” jawab si Togop.
“Itu saya tahu. Tetapi bagaimana akal yang terpikir oleh saya itu, belum saya keluarkan semuanya. Dengarlah baik-baik. Kita semua tahu, orang yang tenama atau orang yang berpangkat lebih dimalui orang daripada orang sembarang saja. Jadi, salah seorang diantara kita, kita sebut kepala kampung, dua orang jadi pengiringnya. Dengan hal demikian, di kampung ini kita menetap saja ke rumah kepala kampungnya. Saya rasa dia suka menjamu kita buat semalam ini.”
”Menurut pikiran saya akal itu dapat dipakai. Tetepi karena engkau yang mendapat akal itu, engkaulah pula kita angkat jadi kepala kampung itu. Kami berdua jadi pengiring,” kata si Togop.
“Engkau Togu, bagaimana pikiranmu?” bertanya si Burkat kepada temannya yang seorang lagi.
” Saya menurut saja!” jawab si Togu.
“Baik. Tetapi mula-mula patutlah saya diberi bergelar dahulu. Sebut sajalah saya Sutan Menjinjing Alam. Tetapi hati-hati, jangan sesat, kalau-kalau terbuka rahasia kita. Jika terbuka, bukan saja kita tidak dapat makan, tetapi badan kita akan merasai pula orang buat. Bungkusan dan payung saya ini bawalah oleh kamu berdua, karena tak pantas lagi seorang raja membawa bungkusan kalau saya ada pengiringnya.”
Sudah itu berjalanlah Sutan menjinjing alam di muka, diiringi si Togop dan si Togu.
Sesampai di kampung yang disebut tadi, setelah bertanya kepada seorang orang kampung itu, mereka itu pun teruslah menuju ke rumah kepala kampung. Mula-mula naiklah si Togu mengabarkan kedatangan mereka itu kepada yang empunya rumah.
Tiada berapa lama dengan bergegas turunlah seorang laki-laki yang setengah umur dari rumah. Dengan ramah tamah dan senyum simpul memberi salam serta mengajak Sutan Menjinjing Alam naik.
Sesampai di rumah, Sutan Menjinjing Alam dipersilakan duduk di atas permadani dan kedua kawannya di atas sehelai tikar pandan yang putih bersih.
Baru sebentar mereka itu duduk, kedengaranlah di sebelah belakang “reok” ayam. Kepala kampung yang tiada berbeslit itu pun memandang kepada kedua kawannnya, dengan pandang yang berarti, seolah-olah mengatakan : “Lihatlah, komidi kita berhasil baik!”
Setelah bercakap-cakap sejurus, waktu berbuka pun tibalah. Sebuah talam yang berisi penganan diangkat orang ke hadapan Sutan Menjinjing Alam, sedang si Togop dan si Togu dilayani seperti biasa saja.
“Marilah kita berbuka dahulu, Engku!” kata yang punya rumah. ”Tetapi buat makan, saya harap engkau akan sabar kiranya sampai lepas sembahyang Isya.”
“Tidak mengapa, Engku. Kami telah mengganggu kesenangan engku dan membuat orang kaya di rumah ini bersusah-susah, jawab Sutan Menjinjing alam sambil mengangkat sebuah gelas yang berisi seterup ke bibirnya.
Waktu hendak makan, sebuah talam diangkat orang pula ke hadapan Sutan Menjinjing Alam.pada piring gulainya tampaklah terbelintang sebuah paha ayam, dan pada piring lain sebilah dada ayam yang digoreng. Si togop dan si Togu hanya mendapat tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang belakang saja.
Memandang perbedaaan itu, terbitlah cemburu dalam hati kedua pengiring itu, lebih-lebih lagi si Togop.
Waktu akan tidur, yang empunya rumah mengembangkan sehelai kasur untuk kepala kampung palsu itu, lengkap dengan bantal dan selimutnya; dan pengiringnya hanya mendapat sehelai tikar dan dua buah bantal.
“Marilah kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang empunya rumah.
Tetapi baru saja ia masuk dan menguncikan pintu dari dalam, datanglah si Togop merangkak mendapatkan Sutan Menjinjing Alam. “Engkau telah mendapat beberapa kelebihan dari kami,” katanya dengan berbisik. Waktu berbuka engkau mendapat pebukaan yang lebih baik dan waktu makan engkau kenyang makan dagingnya, kami hanya mendapat tulang-tulangnya. Sekarang kita berganti, engkau tidur di tikar itu. Kami berdua tidur di atas kasur ini.
“Tidak. Siapa mau begitu?” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, menampik permintaan si Togop itu. Makanan itu rezekiku dan kasur itu pun rezekiku.
“Benar, tetapi sebabnya engkau peroleh itu karena bantuan kami. Kami kurbankan diri kami jadi pengiringmu dan kami sebutkan engkau kepala kampung. Jika tidak, tentu engkau tidak akan mendapat segala kesenangan ini.”
“Bukan untuk saya saja, kamu berdua pun tidak makan malam ini, jika tidak karena akalku.”
“Anak keparat rupanya engkau ini, curang, tamak, tidak setia berkawan, hanya memikirkan kesenangan sendiri saja,” kata si Togop bebisik.
”Engkau ini pun tidak setia, tambahan khianat, dengki, iri hati melihat orang mendapat kesenangan,” Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, karena takut kedengaran kepada yang empunya rumah.
”Ayo, sudah. Kasur ini biarlah kepadamu, tetapi selimut ini untukku,” kata si Togop sambil menarik selimut itu.
“Tidak, tidak. Biar bagaiamana tidak aku berikan,” jawab Sutan Menjinjing Alam.
“Alangkah sombongnya ini, Burkat. Baharu jadi kepala kampung icak-icak saja, sudah sepongah itu. Dicekiki hendaknya engkau ini, biar mampus.”
“Coba kalau berani,” jawab Sutan Menjinjing Alam sambil menghampirkan mukanya menentang muka si Togop. Tetapi untung akan celaka, kebetulan pada waktu itu ia batuk, air ludahnya terpercik ke muka si Togop, dan oleh karena itu si Togop seakan-akan kelupaan diri, maka dibalasnya perhinaan itu. Maka terjadilah peperangan ludah yang amat hebat, diiringi tinju, sepak dan terajang.
Bunyi dar, dur, kelantang-kelantung kedengaranlah dan rumah itu bergerak-gerak seperti diguncang gempa.
Dengan sangat terperanjat dan terburu-buru, yang empunya rumah pun keluar. Didapatinya si Togop sedang menghatam Sutan Menjinjing Alam, lalu ditolakkannya sambil berkata dengan gusar. “Tidak tahu adat engkau ini, berani menjatuhkan tangan kepada rajamu!”
“Ia bukan raja, bukan kepala kampung, tetapi penipu… Ia yang mengajak kami menipu Engku, menyuruh kami menyebut dia kepala kampung…”
“Engkau pun penipu!” kata kepala kampung palsu itu terengah-engah sebab ketakutan.
“O, sekarang aku sudah mengerti, kamu bertiga ini bangsat…penipu…menyungkahkan nasiku dengan akal busuk. Ayo! Kamu orang kampung ini, tangkap ketiga bangsat ini, boleh kita bawa kepada Engku Jaksa di Batangtoru,” kata yang empunya rumah kepada orang banyak, yang sementara itu datang berkerumun ke tempat itu.
Akan tetapi sebelum orang banyak dapat melakukan perintah itu, Sutan Menjinjing Alam dengan kedua pengiringnya telah meloloskan diri, melompat dari jendela dan hilang di tempat yang kelam.... Tamat.

M. Kasim dilahirkan di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 1886. Salah seorang tokoh pemula penulisan cerita pendek di Indonesia. Karya-karyanya: Pemandangan dalam Dunia Kanak-kanak (1928; pemenang Sayembara Buku Anak-anak Balai Pustaka 1924), Muda Teruna (1922), Bertengkar Berbisik, Bual di Kedai, Ja Binuang Pergi Berburu. Teman Duduk (1936; kumpulan cerita pendek pertama yang diterbitkan di Indonesia)