Cerpen Oleh
Muhammad Kasim (Angkatan Balai Pustaka 1930)
Biasanya
orang yang bertengkar tak dapat tidak akan melepaskan sekuat-kuatnya suaranya
dan berkata berebut-rebut dengan tiada mempedulikan koma dan titik. Dalam
cerita ini, suatu pertengkaran yang disudahi dengan perkelahian yang hebat,
telah berlaku dengan berbisik saja.
Pada
waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir, yang
berjalan kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar
dapat berbuka puasa di kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah kampung
kecil, yang masuk bahagian Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar akan
bermusyawarah.
“Di
kampung itu tidak ada lepau nasi, kenalan kitapun tidak ada. Di manakah kita
akan menumpang? Bertanak sendiri dalam puasa begini, saya tak sanggup rasanya”
kata seorang, yang bernama si Burkat.
“Itulah
sebabnya maka saya katakan tadi, lebih baik kita bermalam di Sitinjak saja; di
sana ada warung nasi,” jawab temannya yang bernama si Togop.
“Saya
sangka tadi, jika diburu-buru berjalan, dapat juga kita bermalam di Batangtoru,
rupanya tidak. Akan tetapi, menyesal dan mengeluh tak ada gunanya. Lebih baik
kita cari akal, supaya kita dapat makan petang ini.” Sejurus lamanya ketiganya
tiada berkata-kata.
“Aku
dapat suatu akal,” berkata si Burkat sambil memadang kedua temannya
berganti-ganti. Salah seorang di antara kita bertiga, kita panggilkan kepala
kampung.”
”Kalau
dipanggilkan kepala kampung saja saya rasa belum akan kenyang perut,” jawab si
Togop.
“Itu
saya tahu. Tetapi bagaimana akal yang terpikir oleh saya itu, belum saya
keluarkan semuanya. Dengarlah baik-baik. Kita semua tahu, orang yang tenama
atau orang yang berpangkat lebih dimalui orang daripada orang sembarang saja.
Jadi, salah seorang diantara kita, kita sebut kepala kampung, dua orang jadi
pengiringnya. Dengan hal demikian, di kampung ini kita menetap saja ke rumah
kepala kampungnya. Saya rasa dia suka menjamu kita buat semalam ini.”
”Menurut
pikiran saya akal itu dapat dipakai. Tetepi karena engkau yang mendapat akal
itu, engkaulah pula kita angkat jadi kepala kampung itu. Kami berdua jadi
pengiring,” kata si Togop.
“Engkau
Togu, bagaimana pikiranmu?” bertanya si Burkat kepada temannya yang seorang
lagi.
”
Saya menurut saja!” jawab si Togu.
“Baik.
Tetapi mula-mula patutlah saya diberi bergelar dahulu. Sebut sajalah saya Sutan
Menjinjing Alam. Tetapi hati-hati, jangan sesat, kalau-kalau terbuka rahasia
kita. Jika terbuka, bukan saja kita tidak dapat makan, tetapi badan kita akan
merasai pula orang buat. Bungkusan dan payung saya ini bawalah oleh kamu
berdua, karena tak pantas lagi seorang raja membawa bungkusan kalau saya ada
pengiringnya.”
Sudah
itu berjalanlah Sutan menjinjing alam di muka, diiringi si Togop dan si Togu.
Sesampai
di kampung yang disebut tadi, setelah bertanya kepada seorang orang kampung
itu, mereka itu pun teruslah menuju ke rumah kepala kampung. Mula-mula naiklah
si Togu mengabarkan kedatangan mereka itu kepada yang empunya rumah.
Tiada
berapa lama dengan bergegas turunlah seorang laki-laki yang setengah umur dari
rumah. Dengan ramah tamah dan senyum simpul memberi salam serta mengajak Sutan
Menjinjing Alam naik.
Sesampai
di rumah, Sutan Menjinjing Alam dipersilakan duduk di atas permadani dan kedua
kawannya di atas sehelai tikar pandan yang putih bersih.
Baru
sebentar mereka itu duduk, kedengaranlah di sebelah belakang “reok” ayam.
Kepala kampung yang tiada berbeslit itu pun memandang kepada kedua kawannnya,
dengan pandang yang berarti, seolah-olah mengatakan : “Lihatlah, komidi kita
berhasil baik!”
Setelah
bercakap-cakap sejurus, waktu berbuka pun tibalah. Sebuah talam yang berisi
penganan diangkat orang ke hadapan Sutan Menjinjing Alam, sedang si Togop dan
si Togu dilayani seperti biasa saja.
“Marilah
kita berbuka dahulu, Engku!” kata yang punya rumah. ”Tetapi buat makan, saya
harap engkau akan sabar kiranya sampai lepas sembahyang Isya.”
“Tidak
mengapa, Engku. Kami telah mengganggu kesenangan engku dan membuat orang kaya
di rumah ini bersusah-susah, jawab Sutan Menjinjing alam sambil mengangkat
sebuah gelas yang berisi seterup ke bibirnya.
Waktu
hendak makan, sebuah talam diangkat orang pula ke hadapan Sutan Menjinjing
Alam.pada piring gulainya tampaklah terbelintang sebuah paha ayam, dan pada
piring lain sebilah dada ayam yang digoreng. Si togop dan si Togu hanya
mendapat tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang belakang saja.
Memandang
perbedaaan itu, terbitlah cemburu dalam hati kedua pengiring itu, lebih-lebih
lagi si Togop.
Waktu
akan tidur, yang empunya rumah mengembangkan sehelai kasur untuk kepala kampung
palsu itu, lengkap dengan bantal dan selimutnya; dan pengiringnya hanya
mendapat sehelai tikar dan dua buah bantal.
“Marilah
kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang
empunya rumah.
Tetapi
baru saja ia masuk dan menguncikan pintu dari dalam, datanglah si Togop
merangkak mendapatkan Sutan Menjinjing Alam. “Engkau telah mendapat beberapa
kelebihan dari kami,” katanya dengan berbisik. Waktu berbuka engkau mendapat
pebukaan yang lebih baik dan waktu makan engkau kenyang makan dagingnya, kami
hanya mendapat tulang-tulangnya. Sekarang kita berganti, engkau tidur di tikar
itu. Kami berdua tidur di atas kasur ini.
“Tidak.
Siapa mau begitu?” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, menampik
permintaan si Togop itu. Makanan itu rezekiku dan kasur itu pun rezekiku.
“Benar,
tetapi sebabnya engkau peroleh itu karena bantuan kami. Kami kurbankan diri
kami jadi pengiringmu dan kami sebutkan engkau kepala kampung. Jika tidak,
tentu engkau tidak akan mendapat segala kesenangan ini.”
“Bukan
untuk saya saja, kamu berdua pun tidak makan malam ini, jika tidak karena
akalku.”
“Anak
keparat rupanya engkau ini, curang, tamak, tidak setia berkawan, hanya
memikirkan kesenangan sendiri saja,” kata si Togop bebisik.
”Engkau
ini pun tidak setia, tambahan khianat, dengki, iri hati melihat orang mendapat
kesenangan,” Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, karena takut
kedengaran kepada yang empunya rumah.
”Ayo,
sudah. Kasur ini biarlah kepadamu, tetapi selimut ini untukku,” kata si Togop
sambil menarik selimut itu.
“Tidak,
tidak. Biar bagaiamana tidak aku berikan,” jawab Sutan Menjinjing Alam.
“Alangkah
sombongnya ini, Burkat. Baharu jadi kepala kampung icak-icak saja, sudah
sepongah itu. Dicekiki hendaknya engkau ini, biar mampus.”
“Coba
kalau berani,” jawab Sutan Menjinjing Alam sambil menghampirkan mukanya
menentang muka si Togop. Tetapi untung akan celaka, kebetulan pada waktu itu ia
batuk, air ludahnya terpercik ke muka si Togop, dan oleh karena itu si Togop
seakan-akan kelupaan diri, maka dibalasnya perhinaan itu. Maka terjadilah
peperangan ludah yang amat hebat, diiringi tinju, sepak dan terajang.
Bunyi
dar, dur, kelantang-kelantung kedengaranlah dan rumah itu bergerak-gerak
seperti diguncang gempa.
Dengan
sangat terperanjat dan terburu-buru, yang empunya rumah pun keluar. Didapatinya
si Togop sedang menghatam Sutan Menjinjing Alam, lalu ditolakkannya sambil
berkata dengan gusar. “Tidak tahu adat engkau ini, berani menjatuhkan tangan
kepada rajamu!”
“Ia
bukan raja, bukan kepala kampung, tetapi penipu… Ia yang mengajak kami menipu
Engku, menyuruh kami menyebut dia kepala kampung…”
“Engkau
pun penipu!” kata kepala kampung palsu itu terengah-engah sebab ketakutan.
“O,
sekarang aku sudah mengerti, kamu bertiga ini bangsat…penipu…menyungkahkan
nasiku dengan akal busuk. Ayo! Kamu orang kampung ini, tangkap ketiga bangsat
ini, boleh kita bawa kepada Engku Jaksa di Batangtoru,” kata yang empunya rumah
kepada orang banyak, yang sementara itu datang berkerumun ke tempat itu.
Akan
tetapi sebelum orang banyak dapat melakukan perintah itu, Sutan Menjinjing Alam
dengan kedua pengiringnya telah meloloskan diri, melompat dari jendela dan
hilang di tempat yang kelam.... Tamat.
M. Kasim dilahirkan di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 1886. Salah
seorang tokoh pemula penulisan cerita pendek di Indonesia. Karya-karyanya:
Pemandangan dalam Dunia Kanak-kanak (1928; pemenang Sayembara Buku Anak-anak
Balai Pustaka 1924), Muda Teruna (1922), Bertengkar Berbisik, Bual di Kedai, Ja
Binuang Pergi Berburu. Teman Duduk (1936; kumpulan cerita pendek pertama yang
diterbitkan di Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar